Senin, 20 April 2020

Sejarah Dokter Cipto Mangunkusumo dan Dr. Danu Dirjo Setiabudi Pahlawan Perjuangan Indonesia Dokter Cipto Mangkusumo

Gadis Rantau
Sejarah Pahlawan Perjuangan Indonesia Dokter Cipto Mangunkusumo dan Dr. Danu Dirjo Setiabudi 
Pahlawan Perjuangan Indonesia Dokter Cipto Mangkusumo
Dokter Cipto yang dilahirkan di Pecangakan, daerah Ambarawa, pada tahun 1886 merupakan contoh seorang pribadi yang menjalankan etika profesinya sebagai dokter dengan konsekuen.
Ia dengan sadar mau menanggung dan memikul tanggung jawabnya meskipan hal itu berarti penarjara, pembuangan, dan kesulitan-kesulitan lain yang harus dihadapi.
Selamt dari STOVIA (Sekolah Dokter Hindia) dokter Cipto diangkat  sebagai dokter pemerintah. Pada awalnya, ia merasa bahwa dengan jalan itu, ia dapat mengabdikan keahlianya pada masyarakat, Tatkala bertugas di Demak, ia melihat keadaan kemiskinan dan penderitaan masyarakat di kawasan itu. S ebaga seorang Ccendekiawan, dokter itu dapat melihat bahwa penyakit itu tidak datang dari  langit melainkan sebagai akibat keadaan kemiskinan dan kebodohan masyarakatnya. Kemiskinan dan kebodohan itu bukan akibat ulah masyarakat di daerah itu tetapi bersumber pada kondisi sosial masyarakat yang terjajah. Analisis-analisisnya yang tajam itu ditulis dan diplubikasikan dalam harian De Express dan berbagai surat kabar lain.


Reaksi pemerintah kolonial sangat keras  dengan memperingatkan agar dokter itu berhenti menulis di surat kabar, jika ingin tetap menjadi dokter pemerintah. Namun, dokter Cipto tetap konsekuen dengan terus menulis di surat kabar dan melepaskan jabatanya sebagai dokter pemerintah. Sikap konsekuen itu ditunjukkan juga ketika pada tahun 1912, ia menerima bintang Orde van Oranje Nassau (kepahlawanan Belanda) atas jasanya memberantas wabah pes di Kepanjen, Malang. Tindakan itu dijalankan karena banyak dokter Belanda yang menolak tugas untuk membasmi wabah itu. Meskipun demikian, dokter Cipto mengembalikan bintang jasanya kepada pemerintah Belanda karena izin tugas untuk memberantas wabah pes di daerah Solo tidak diberikan kepadanya.
Dari perjuangan di lapangan kedokteran dokter Cipto melihat bahwa letak permasalahan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kehadiran penjajah Belanda. Kesadaran ini menumbuhkan minatnya untuk menekuni masalah-masalah politik. Bersamadengan E.F.E. Douwes Dekker, dan R.M. Suwardi Suryaningrat mendirikan Indische Partij (IP, Partai Hindia) pada tahun 1912 yang merupakan partai politik pertama di Indonesia Partai ini atas dasar nasionalisme untuk menuu kemerdekaan. Indonesia sebagai “perumahan nasional” bagi semua orang baik bumiputra, Belanda, Cina, dan  Arab yang mengakui Hindia sebagai negara dan kebangsaannya. Pandangan itu dikenal sebagai “nasionalisme  Hindia” (Indische Nationalism).
Pada tanggal 13 Maret 1913, IP yang diwakilioleh Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, dan I.G. van Ham menghadap Gubernur Jendral untuk memohon pengesahan tetapi ditolak. Artinya, IP dilarang bergera di tengah masyarakat. Karena protes terhadap rencana perayaan 100 tahun terbebasnya Negeri Belanda dari penjajahan Perancis, etiga serangakai itu di buang ke pembuangan di negeri Belanda. Di negeri Belanda, dokter Cipto bekerja sebagai redaktur De Indier yang bercorak politik radikal, sebagai kelanjutan peruangan politiknya di Hindia Belanda. Dan Pada saat  masa pembuangan itu, penyakit asmanya kambuh sehingga harus dipulangkan ke Indonesia. 
Meskipun berbagai pembatasan dikenakan nama dokter Cipto tetap tidak surut dari pergerakan poloitik. Tempat  tinggalnya  di Bandung merupakan tempat berkumpul tokoh-tokoh pergerakan disekitar Soekarno. Di samping itu ia aktif membina Institut Kesatriaan. Institut ini meruppakan lembaga pendidikan yang didirikan oleh Danu Dirjo Setiabudi, rekannya di Indishche Partij (IP), Pada tahun 1922. Kegiatan-kegiatan politik itulah yang menyebabkan ia dibuang ke Bandaneira selama tiga belas tahun lamanya. Dari Bandaneira dokter pejuang itu dipindahkan ke Sukabumi,  Jawa Barat dan akhirnaya di Jakarta.   
Dokter Cipto masih menyaksikan runtuhnya pemerintah kolonial Belanda, lawan yang tidak jemu jemunya ditentangnya dengan penyerahanya tanpa syarat di Kalijati pada tahun 1942. Pemerintah Belanda digantidengan Bala uluran tangan dan semangat juangnya mengusir penjajahan yang terakhir ini namun kesehatanya terus menurun. Akhirnya, ia menutup mata untuk selama-lamanya di Jakarta pada tanggal 8 Maret 1943 dan dimakamkan di Watu Ceper, Ambarawa. Pemerintah Indonesia menganugerahi gelar Pahlawan Pergerakan Nasional pada tahun 1964.
Pahlawan Perjuangan Indonesia Dr. Danu Dirjo Setiabudi
Danu Dirjo Setiabudi mengaku dirinya sebagai seorang Indonesia dan suku Jawa tulen walaupun ia seorang Indo. Itulah yang dilakukannya sewaktu mendaftarkan diri untuk kuliah di Universitas Zurich, Swiss. Ia pernah dijuluki “penjahat internasional” karena sikapnya menentang setiap agresi Barat ke wilayah Asia dan Afrika. Sikapnya itu dinyatakan dengan aksi penyelundupan senjata ke Indiauntuk membantu pejuang-pejuang India melawan Inggris. Dalam Emst Eugene Douwes Dekker yang setelah Indonesia merdeka berganti nama menjadi Danu Dirjo Setiabudi. Nama itu dihadiahkan oleh Bung Karno, Presiden RI bekas muridnya. Danu artinya banteng, Dirjo artinya kuat, tanggung,dan Setiabudi artinya berbudi setia. Bung Karno berkeinginan agar singkatan nama D.D. nama yang tenar dan harum pada masa perjuangan kemerdekaan sebagai inisial dari nama Douwes Dekker (D.D), dapat dibadingkan sebagai singkatan nama Danu Dirjo.
Ia dilahirkan di Pasuruan, Jawa Timur pada tanggal 8 Oktober 1879.Setelah menamatkan HBS (SMP dan SMA Belanda), ia bekerja sebagai pegawai di perkebunan kopi di daerah Malang. Namun, ia tidak tahan menyaksikan perlakuan kasar orang-orang Belanda terhadap para buruh pribumi. Kemudian ia beralih profesi sebagai guru kimia. Profesi terakhir itu rupanya tidak membuatnya krasan sehingga ia memutuskan untuk merantau ke luar negeri. Dalam petualanganya itu, ia melibatkan diri dalam perang Boer melawan Inggris di Afrika. Kekalahanya yang dideritanya menyebabkan ia ditawan. Setelh dibebaskan, ia kembali ke Indonesia.
Sekembalinya ke Indonesia, mula-mula membuka Harian De Express Selatan, ia kemudian bersama Suwardi Suryaningrat  dan Dokter Cipto Mangunkusumo mendirikan Indische Partij (IP, Partai Hindia). IP merupakan partai pertama yang lahir di Indonesia. Partai itu berusaha memetahkan “garis warna kulit” (colour line) yang memecah belah bangsa Indonesia. Golongan Indo diajaknya bersatu dengan penduduk Indonesia untuk berusatu melawan setiap bentuk  penjajahan. Ia menentang perayaan seratus tahun kemerdekaan bangsa Belanda dari penjajahan Perancis. Hal itu menyebabkan, ia dibuang bersama Ki Hajar Dewantara dan Dr. Cipto Mngunkusumo ke Negeri Belanda selama lima tahun.
Pembuangan itu tidak mematahkan semangat juangnya setelah kembali ke Indonesia, ia mendirikan perguruan Institut Ksatrian. Dalam perguruan itu di samping pelajaran dalam bidang studi juga ditanamkan nilai-nilai kebangsaan. Perjuangan dalam bidang pendidikan tidak membebaskannya dari ancaman hukuman pemerintah kolonial Belanda. Ia seringkali keluar masuk penjara bahkan sekali lagi pada tahun 1941 setelah beberapa saat ditahan di Jakarta dibuang ke Negeri Belanda. Setelah Perang Dunia  II berakhir, ia secara diam-diam krmbali ke Indonesia untuk membantu perjuangan.
Setelah Indonesia merdeka. Dalam Kabinat Syahrir III  (2 Oktober 1946-3 Juli 1947) ia diangkat menjadi Menteri Negara dan sebagai penasihat delegasi RI dalam perundingan-perundingan dengan Belanda. Dalam Agresi Belanda II ia ditangkap Belanda dan dipenjarakan. Beberapa kali tempat penahananya dipindahkan oleh Belanda. Setelah dibebaskan ia menetap di Bandung dan wafat pada tanggal 28 Oktober 1950 di Kota Kembang itu. Beliau diangkat sebagai Pahlawan kemerdekaan Nasional pada tahun 1961.