Tri Tuntutan Rakyat Tritura adalah tiga tuntutan kepada pemerintah yang diserukan para mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI). Tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa di Jakarta membentuk organisasi federasi yang dinamakan KAMI dengan anggota antara lain terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI. Pimpinan KAMI berbentuk Presidium dengan ketua umum Zamroni (PMII). Tritura dilatarbelakangi dari kondisi sosial politik pasca G30S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut.
Tokoh-tokoh seperti Abdul Ghafur, Cosmas Batubara, Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi dan Sulastomo menjadi penggerak aksi-aksi yang menuntut Soekarno agar segera menyelesaikan kemelut politik yang terjadi. Kemelut politik telah menimbulkan kemarahan rakyat dan keadaan perekonomian makin memburuk dimana inflasi (kenaikan harga) mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi (penyesuaian nilai tukar mata uang terhadap mata uang asing) rupiah menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G30 S PKI semakin meningkat. Kesatuan-kesatuan aksi tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat G-30S/PKI, Pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front Pancasila. Perasaan tidak puas terhadap keadaan saat itu mendorong para pemuda dan mahasiswa mencetuskan Tri Tuntunan Hati Nurani Rakyat yang lebih dikenal dengan sebutan Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).
Pada 12 Januari 1966 dipelopori oleh KAMI dan KAPPI, kesatuan-kesatuan aksi yang tergabung dalam Front Pancasila mendatangi DPR-GR mengajukan tiga buah tuntutan yaitu:
- Pembubaran PKI,
- Pembersihan kabinet dari unsur-unsur G30S PKI, dan
- Penurunan harga/perbaikan ekonomi.
Tuntutan pembubaran PKI ternyata tidak dipenuhi Presiden. Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati rakyat karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G30S PKI.
Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tanggal 24 Pebruari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok. Resimen Cakrabirawa merupakan kesatuan pasukan gabungan dari TNI dan Kepolisian yang bertugas khusus menjaga keamanan Presiden RI pada zaman pemerintahan Soekarno. Pada zaman pemerintahan Soeharto, resimen ini dibubarkan. Untuk mengawal Presiden, dibentuk kemudian kesatuan baru Paspampres (Pasukan Pengaman Presiden)
Akibat bentrokan dengan Cakrabirawa seorang mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim meninggal. Keesokan harinya tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan.
Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan “Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). Selain itu, mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman Hakim dengan tujuan melanjutkan aksi KAMI.
Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Pada tanggal 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri dan membakar kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para demonstran tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno.
Rentetan demonstrasi yang terjadi menyuarakan Tritura akhirnya diikuti keluarnya Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) oleh Presiden Soekarno yang memerintahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto selaku panglima Angkatan Darat untuk mengambil tindakan yang perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban Kondisi ini membuat situasi politik tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin menurun.